Apa pandangan Alkitab tentang Perceraian?

Perceraian


Allah membenci perceraian! Dia membenci perceraian karena hal itu selalu melibatkan ketidaksetiaan terhadap keabsahan perjanjian pernikahan atas dua pihak yang telah terikat di dalamnya, dan karena perceraian juga menimbulkan konsekuensi berbahaya yang merusak pasangan dan anak-anak mereka (Maleakhi 2: 14 Dan kamu bertanya: "Oleh karena apa?" Oleh sebab TUHAN telah menjadi saksi antara engkau dan isteri masa mudamu yang kepadanya engkau telah tidak setia, padahal dialah teman sekutumu dan isteri seperjanjianmu. 15 Bukankah Allah yang Esa menjadikan mereka daging dan roh? Dan apakah yang dikehendaki kesatuan itu? Keturunan ilahi! Jadi jagalah dirimu! Dan janganlah orang tidak setia terhadap isteri dari masa mudanya. 16 Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel--juga orang yang menutupi pakaiannya dengan kekerasan, firman TUHAN semesta alam. Maka jagalah dirimu dan janganlah berkhianat!). 


Perceraian di Alkitab diperbolehkan hanya akibat dosa manusia. Karena perceraian adalah suatu konsesi/kompromi yang terpaksa di-ijinkan akibat dosa manusia dan bukan bagian dari rencana semula Allah untuk pernikahan, maka semua orang percaya/orang beriman/orang Kristen harus membenci perceraian sebagaimana Allah membencinya, dan perceraian hanya dilakukan ketika tidak ada lagi jalan lain untuk menyelamatkan pernikahan itu. Dengan pertolongan Tuhan, pernikahan dapat bertahan bahkan dari dosa terburuk.

Dalam Matius 19:3-9, Kristus mengajarkan dengan jelas bahwa perceraian adalah sebuah kompromi atas dosa manusia yang melanggar tujuan semula Allah bagi kesatuan intim dan permanen dari suatu ikatan pernikahan (Kejadian 2:24 Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging.). Kristus mengajarkan bahwa hukum Allah mengijinkan perceraian hanya karena "ketegaran hatimu" (Matius 19:  8 Kata Yesus kepada mereka: "Karena ketegaran hatimu Musa mengizinkan kamu menceraikan isterimu, tetapi sejak semula tidaklah demikian. 9 Tetapi Aku berkata kepadamu: Barangsiapa menceraikan isterinya, kecuali karena zinah, lalu kawin dengan perempuan lain, ia berbuat zinah."). Hukum perceraian adalah suatu kompromi terhadap pasangan yang setia, karena dosa seksual atau karena ditinggalkan oleh pasangannya yang berbuat dosa, sehingga pasangan yang setia itu tidak lagi terikat dalam pernikahan tersebut (Matius 5:32; 19:9; 1Korintus 7:12-15). 

Meskipun Yesus mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan dalam beberapa situasi, kita harus ingat bahwa penekanan-Nya dalam wacana ini adalah untuk memperbaiki pola pikir bangsa Yahudi bahwa mereka dapat seenaknya menceraikan pernikahan satu sama lain "oleh sebab apapun" (Matius 19:3), dan untuk menunjukkan kepada mereka keburukan dari  mengejar perceraian yang berdosa. Oleh karena itu, orang percaya seharusnya tidak pernah boleh mempertimbangkan untuk bercerai kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu (lihat bagian berikutnya), dan bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu itupun, seharusnya perceraian harus hanya secara terpaksa dan secara enggan dilakukan karena tidak ada lagi jalan keluar lain untuk menyelamatkan pernikahan mereka. 



Dasar Perceraian 


Dasar diperbolehkannya suatu perceraian dalam Perjanjian Baru adalah hanya karena dosa seksual atau karena ditinggalkan oleh pasangan yang tidak percaya/tidak beriman/bukan Kristen. 

Alasan pertama ditemukan dalam penggunaan kata bahasa Yunani ‘porneia’ oleh Yesus (Matius 5:32; 19:9). Ini adalah istilah umum yang mencakup dosa seksual seperti perzinahan, pelacuran, penyelewengan-penyelewengan seksual, homoseksualitas, kebinatangan dan incest. Ketika salah satu pasangan menghianati kesatuan dan keintiman suatu pernikahan dengan melakukan dosa seksual dan dengan demikian telah melanggar  janji nikahnya maka pasangan yang setia langsung ditempatkan ke dalam situasi yang sangat sulit. Setelah segala upaya melelahkan dilakukan untuk mempertobatkan pasangan yang berdosa itu, Alkitab memungkinkan pembebasan bagi pasangan yang setia melalui suatu perceraian (Matius 5:32; 1Korintus 7:15).

Alasan kedua, perceraian diperbolehkan dalam kasus di mana pihak pasangan yang tidak beriman tidak lagi menginginkan hidup bersama dengan suami atau istrinya yang beriman (1 Korintus 7:12-15). Karena "Allah memanggil kamu untuk hidup dalam damai sejahtera." (ay. 15), maka perceraian diperbolehkan dan mungkin lebih baik dalam situasi seperti itu. Ketika pasangan yang tidak beriman itu berkeinginan untuk pergi, maka usaha untuk tetap mempertahankan dia dalam pernikahan itu hanya akan menciptakan ketegangan yang lebih besar dan konflik. Juga, jika pasangan yang tidak beriman itu meninggalkan hubungan pernikahan secara permanen tetapi tidak bersedia untuk mengajukan cerai, mungkin karena gaya hidup, tidak bertanggung jawab, atau untuk menghindari kewajiban keuangan, maka pasangan yang beriman akan berada dalam situasi yang sulit karena tetap terikat kewajiban-kewajiban hukum dan moral yang tidak dapat mereka penuhi. Karena "dalam hal yang demikian saudara atau saudari tidak terikat " (1Korintus 7:15) dan karena itu tidak lagi berkewajiban untuk tetap menikah, maka orang percaya dapat mengajukan cerai tanpa takut tidak memperkenan Allah.


Posting selanjutnya


Sumber : Divorce & Remarriage oleh Pastor John MacArthur - GraceChurch.org


1 komentar: